Bendera Tauhid

Minggu, 15 November 2015

Pelencengan Sejarah Indonesia

“KEJAHATAN” TERHADAP SEJARAH (RENUNGAN HARI PAHLAWAN)

Mayoritas pahlawan di negeri ini adalah muslim. Namun, kepahlawanan
mereka, lebih sering disifati dengan sifat nasional, bukan dengan
spirit Islam. Ini tentu merupakan ”kejahatan” terhadap sejarah, yang
berujung pada pengaburan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara
ini.

Setidaknya ada tiga ”kejahatan” terhadap sejarah :

Pertma : PENGUBURAN SEJARAH.

Penggalan sejarah tidak diungkap atau jarang dimasukkan dalam kajian
dan pembelajaran sejarah. contohnya Penetapan tanggal 10 November
sebagai Hari Pahlawan adalah untuk mengenang peristiwa heroik yang
terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa heroik
itu tak lepas dari adanya Resolusi jihad yang ditandatangani oleh
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi jihad
itu mendorong puluhan ribu muslim bertempur melawan Belanda dengan
gagah berani.  Anehnya, Resolusi jihad serta peran para kiai, ulama,
santri, Laskar Hizbullah dan Sabilillah serta umat Islam yang
bertempur dengan spirit jihad justru seolah sengaja dikubur atau
digelapkan. Dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis.

Kedua :  PENGABURAN PERISTIWA SEJARAH.

Contoh: Siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan
penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi
Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari
Syarikat Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS
Cokroaminoto  dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah
Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan
kecil, sangat elitis, dikalangan priyayi Jawa, serta tidak memiliki
spirit perlawanan terhadap Belanda.

Ketiga : PENGABURAN KONTEKS PERISTIWA SEJARAH.

Contoh: Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan pada kelahiran
Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam. Hari Pendidikan Nasional juga bukan
didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang
didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, tetapi pada kelahiran
sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Mengapa demikian? Sebab, bila
kelahiran Sarekat Islam dan Muhammadiyah dengan sekolah pertamanya
yang dijadikan dasar, maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit
atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat
itu, hal itu sangat tidak dikehendaki.

Disarikan dari buletin jum’at Al Islam edisi 780, 13 Noveber 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar