Berikut tulisan ust Dwi Condro ketika menjawab pendapat seorang teman yg mengatakan, kita berjuang berdasar kapasitas kita masing2, jd silahkan bila ada yg berjuang utk tegaknya khilafah, dan ada yg berjuang utk kebaikan yg lain, yg penting fastabiqul khoirot....
Alhamdulillah, terima kasih Mas Hadi. Telah mengingatkan pada kita semua. Kalau boleh menambahkan (kalau salah mohon dikoreksi):
Dalam beramal seharusnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada kapasitas kita. Namun, berdasarkan taklif yang dibebankan Allah kepada kita, yaitu berdasarkan hukum syari’at yang lima: wajib, sunnah, mubah makruh dan haram. Dan, untuk mengamalkannya-pun harus mengikuti aulawiyatnya, yaitu: wajib harus didahulukan daripada sunnah; sunnah didahulukan daripada mubah dan seterusnya.
Oleh karenanya, yang harus kita fikirkan adalah bagaimana agar segala kewajiban itu dapat kita amalkan terlebih dahulu. Sebab, jika ada kewajiban yang masih kita tinggalkan, maka kita akan berdosa dan bisa terancam masuk neraka.
Masalahnya, kewajiban itu ada dua, yaitu: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Insya Allah, untuk fardhu ‘ain, kita sudah mampu mengamalkannya. Contohnya, perintah Allah dalam QS. 2:183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ﴿١٨٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa...”.
Namun, bagaimana dengan firman Allah dalam QS. 2: 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,...”.
Itu adalah fardhu kifayah yang taklifnya adalah untuk seluruh orang-orang beriman. Artinya, setiap ada kasus pembunuhan yang tidak dihukum dengan hukum Islam, seluruh orang-orang yang mengaku beriman akan mendapatkan dosa.
Yang menjadi masalah, fardhu kifayah itu banyak sekali jumlahnya, masih terbengkalai, tidak diamalkan, karena negara tidak mau menerapkan hukum syari’at. Setiap hari ada kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, masih banyak yang meninggalkan sholat, puasa, zakat, tidak menutup aurat, dalam berekonomi mayoritas masih bertransaksi dengan bunga/riba, dsb.
Nah, bagaimana fardhu-fardhu kifayah itu dapat digugurkan? Jawabnya hanya satu: jika sudah diamalkan oleh negara. Bagaimana jika negara tidak mau mengamalkan? Maka, seluruh rakyatnya akan berdosa, yaitu dosa kifayah. Pertanyaannya: Mungkinkah kita bisa langsung masuk surga, jika kita masih banyak bergelimpangan dengan dosa-dosa kifayah?
Disinilah kita sangat membutuhkan amal yang bisa menggugurkan dosa-dosa kifayah tersebut. Di titik inilah biasanya akan banyak muncul ikhtilaf diantara kita, sehingga masing-masing sudah merasa ikut terlibat dalam perjuangan penegakan Islam. Terlebih lagi, biasanya kita cenderung enggan untuk berdiskusi dalam masalah ini, dan cenderung sudah cukup hanya dengan saling menghormati, fastabiqul khairat... ini jelas sikap yang kurang tepat. Justru di titik inilah kita seharusnya sangat serius dalam berdiskusi dan beradu hujjah. Mengapa?
Contoh sederhana: jika ada tetangga kita yang meninggal dunia, kemudian jenazahnya kita terlantarkan, tidak ada yang memandikan, mengafani, menyolati dan menguburkan. Siapa yang berdosa? Tentu kaum muslimin akan berdosa. Apakah dosa ini bisa dihapuskan dengan memperbanyak amal yang lain, misalnya: banyak berdzikir, beristighfar, bershodaqoh, banyak megajarkan qur’an, mengajak yasinan dsb. Apakah semua amal itu bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Sementara jenazah itu masih terlantar di sekeliling kita?
Jawabnya: tentu saja tidak bisa. Sampai kapan? Sampai jenazah itu dikuburkan dengan sempurna. Selama jenazah itu diterlantarkan, jika kita masih beramal dengan amalan yang tidak berhubungan langsung dengan kewajiban tersebut (walaupun amalan itu ada pahalanya), kita akan tetap akan mendapatkan dosa. Dosa apa? Dosa kifayah.
Pertanyaannya: apa amalan yang bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Jawabnya sangat mudah: amalan yang langsung tekait dengan kewajibannya, yaitu mengurus jenazah tersebut. Bagaimana jika kita tidak bisa mengurus jenazah itu sendirian? Jawabnya: Kita wajib mengajak/menyeru kepada kaum muslimin agar terlibat langsung untuk mengurus jenazah tersebut. Bukan mengajak beramal yang lain, yaitu: mengajak baca qur’an, wiridan, yasinan, tahlilan dsb, sementara jenazahnya justru tetap diterlantarkan.
Kesimpulannya: Jika kewajibannya adalah mengurus jenazah, maka seruannya adalah mengajak untuk mengurus jenazah. Maka, jika kewajibannya adalah penerapan hukum syari’ah oleh penguasa, maka seruannya adalah menyeru kepada penguasa agar mau menerapkan syari’ah. Mudah bukan?
Masalah berikutnya: apakah kita bisa menyeru penguasa, jika kita hanya sendirian? Disinilah kita memerlukan sebuah jamaah, agar seruan kita didengar penguasa. Maka, bergabung dengan jamaah yang amalnya adalah menyeru penguasa agar menerapkan syari’ah dengan institusi khilafah, hukumnya menjadi wajib, sesuai kaidah syara’:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلّاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana secara sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu manjadi wajib hukumnya”.
Masalah selanjutnya: Bagaimana jika penguasanya tetap tidak mau menerapkan syari’ah, padahal sudah kita seru/dakwahi terus menerus? Disinilah kita bisa bersandar kepada dalil “keterpaksaan”, sbb:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) سنن ابن ماجه(
“Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) atas ummatku dari kesalahan (ketidaksengajaan), lupa dan keterpaksaan atas mereka” (HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah).
Jika kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk mendakwahi penguasa, namun penguasa tetap enggan menerapkan syari’ah, semoga Allah berkenan mengampuni/menggugurkan dosa-dosa kifayah kita, karena keterpaksaan atas diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar