FIQIH RAMADHAN
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Ramadhan bukan hanya puasa. Di dalamnya, banyak aktivitas yang diperintahkan. Begitu juga sebaliknya. Beberapa ketentuan hukum yang harus dipahami oleh kaum Muslim selama bulan suci Ramadhan adalah, sebagai berikut:
1- Ru’yatu Hilal: Mencari hilal [taharri hilal] sebagai sebab jatuhnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan hukumnya fardhu Kifayah. Dasarnya adalah, “Fa Man Syahida minkum as-Syahra falyashumhu.” [Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya berpuasa] [Q.s. 2: 185].
Untuk melaksanakan kewajiban ini, kaum Muslim pun akan berbondong-bondong mencari hilal. Negara, pada saat yang sama, akan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk terlaksananya kewajiban ini. Setelah terbukti yang melihat, diambil sumpahnya, dan dinyatakan sah, maka Khalifah akan mengumumkan hasil itsbat tersebut ke seluruh dunia.
2- Wihdatu al-Mathla’ wa Ta’adduduh [Kesatuan dan Multi Mathla’]: Mathla’ [tempat terbitnya bulan] yang menjadi patokan hilal ada perbedaan di kalangan ulama’. Ada yang mengatakan, satu untuk seluruh dunia, dan ada yang mengatakan boleh lebih dari satu. Pendapat yang pertama, adalah pendapat Jumhur mazhab. Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Syafii.
Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, pendapat yang pertamalah yang lebih kuat. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam dan seluruh dunia, maka Khalifah pun akan menetapkan satu mathla’ untuk seluruh dunia.
3- Sahur: Sahur hukumnya sunah. Disunahkan makan sahur, sebagaimana hadits Nabi, “Tasahharu fainna fi as-sahuri barakah.” [Sahurlah, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan] [Hr. Muttafaq ‘Alaih]. Juga disunahkan untuk mengakhirkan sahur, menjelang Fajar.
4- Tarawih: Shalat Tarawih, juga disebut Qiyam Ramadhan. Hukumnya sunah, sebagimana disebutkan dalam hadits Nabi, “Man Qama Ramadhan imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi.” [Siapa saja yang mendirikan shalat di malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan ikhlas untuk-Nya, maka dosanya telah lalu akan diampuni] [Hr. Bukhari]. Selain itu, juga sunah fi’liyyah Nabi saw. dan Ijma’ Sahabat.
5- Shaum: Puasa, atau menahan diri dari segala perkara yang bisa membatalkan puasa di siang bulan Ramadhan, hukumnya wajib. Dasarnya firman Allah SWT, “Ya Ayyuha al-Ladzina Amanu Kutiba ‘alaikum as-Shiyam..” [Wahai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan untuk kalian kewajiban berpuasa] [Q.s. 2: 183]. Kewajiban ini berlaku bagi kaum Muslim, pria-wanita, baligh, berakal dan mampu.
Bagi yang sedang bepergian atau sakit ada rukhshah [dispensasi]. Mereka boleh tidak berpuasa, dengan kewajiban untuk mengganti puasanya pada waktu yang lain. Allah berfirman, “Wa Man Kana Maridhan au ‘ala Safarin fa’iddatun min Ayyamin Ukhar.” [Siapa saja yang sakit atau bepergian, maka baginya kewajiban mengganti di hari-hari lain] [Q.s. 2: 185].
6- Qira’ah al-Qur’an: Membaca al-Qur’an, menghayati makna dan mengamalkannya hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap kaum Muslim. Kewajiban ini tidak hanya berlaku di bulan Ramadhan, tetapi juga di luar bulan suci Ramadhan. Namun, jika kewajiban ini dilakukan di bulan Ramadhan, maka pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.
7- Sedekah: Sedekah hukumnya sunah, baik di luar maupun di bulan Ramadhan. Hanya saja, jika sedekah ini dilakukan di bulan Ramadhan, pahalanya berbeda. Karena, nilai kesunahannya dinaikkan menjadi setaraf dengan fardhu. Sebagaimana sabda Nabi, “Man Adda Khashlatan min al-Khairi, Kana Kaman Adda Faridhatan fima Siwahu.” [Siapa saja yang menunaikan satu kebaikan, sama dengan menunaikan satu kefardhuan di luar Ramadhan] [Hr. Ibn Huzaimah].
Ini tidak hanya berlaku untuk sedekah saja, tetapi juga berlaku untuk perkara sunah yang lain. Shalat, menolong orang atau pun yang lain.
8- Lahwu wa Laghwu: Main-main dan melakukan hal yang sia-sia, seperti mengisi waktu puasa dengan bermain, menghabiskan waktu di depan televisi, ganget, dan segala sarana yang bisa melalaikan termasuk perkara yang dilarang. Begitu juga ucapan, obrolan dan tindakan yang sia-sia harus ditinggalkan sejauh-jauhnya di bulan suci Ramadhan. Dalam hal ini, ‘Umar bin al-Khatthab berkata, “Laisa as-Shiyamu min at-Tha’am, wa as-Syarab wahdah, wa lakin min al-Kadzib, wa al-Bathil, wa al-Laghwi wa al-Halaf.” [Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari dusta, perkara batil, sia-sia dan sumpah serapah] [al-Majmu’, Juz VI/409].
9- Dakwah dan Jihad: Baik dakwah maupun jihad, sama-sama hukumnya wajib. Kewajiban ini harus dilakukan kapapun dan di mana pun. Namun, jika dilakukan di bulan Ramadhan, dengan tingginya faktor ketaatan dan kedekatan pelakunya dengan Allah SWT, maka tingkat keberhasilannya akan tinggi. Karena itu, Nabi saw. dan para sahabat, juga Khalifah dan penguasa kaum Muslim setelah mereka, banyak menggunakan momentum Ramadhan untuk melakukan kedua kewajiban tersebut. [Lihat, Siyasah Syar’iyyah].
10- Umrah: Meski Nabi saw. sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan suci Ramadhan, namun Nabi saw. pernah bersabda, “Umratun fi Ramadhan Ta’dilu Hajjatan.” [Umrah di bulan Ramadhan setara nilainya dengan haji] [Hr. Ahmad dan Ibn Majah]. Hadits ini cukup menjadi dalil, bahwa melaksanakan umrah di bulan suci Ramadhan hukumnya sunah, dan pahalanya sama dengan ibadah haji.
11- Dakwah li Isti’naf al-Hayat al-Islamiyyah: Seluruh hukum di atas hanya akan bisa diwujudkan dengan sempurna, ketika dilaksanakan dalam suasana kehidupan Islam. Maka, menghidupkan kembali kehidupan Islam hukumnya wajib. Bahkan, karena ini menjadi pangkal kembalinya seluruh pelaksanaan hukum Islam, maka kewajiban untuk mengembalikan kehidupan Islam merupakan mahkota kewajiban [taju al-furudh].
Mahkota kewajiban ini tidak mungkin bisa diwujudkan, kecuali dengan adanya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Karena itu, berjuang untuk menegakkan Khilafah juga merupakan mahkota kewajiban [taju al-furudh]. Kewajiban ini sangat besar nilainya, jika dilaksanakan di bulan suci Ramadhan. Disamping itu, tingkat keberhasilannya juga lebih tinggi, karena tingkat ketaatan dan kedetakan para pejuangnya dengan Allah SWT.
Khadim Majelis Syaraful Haramain – Indonesia
@Hafidz_AR1924
Tidak ada komentar:
Posting Komentar