لَا إِلٰهَ إِلَّا الله مُحَمَّدٌ رَسُولُ الله Tanda-tanda kejayaan itu telah datang, berpegang teguhlah untuk menggapai kesuksesan didunia dan akhirat.
Minggu, 15 November 2015
Rahasia Kebahagiaan
Pelencengan Sejarah Indonesia
Kisah Arab Baduwi
Minggu, 08 November 2015
Fiqih seputar lukisan
Asy Syaikh Atho’ Abu Rusytah –amir Hizbut tahrir- ditanya seputar masalah gambar oleh seorang pemuda, pertanyaannya sebagai berikut:
Saya menjalani profesi yang berkaitan dengan gambar. Melalui profesi yang saya tekuni itu saya bersentuhan dengan beberapa aktivitas berikut:
* Memodivikasi gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Saya mengharapkan penjelasan hukum syara’ mengenai aktivitas-aktivitas tersebut, wa barakaLlaahu fiikum!
Jawaban Asy Syaikh Abu Rusytah sebagai berikut:
Sebelum sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami ingin menegaskan dua hal berikut:
yang pertama: bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas perbuatan melukis, atau menggambar dengan tangan, sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadits, bukan menghasilkan gambar dengan kamera. Adapun mengambil gambar dengan kamera maka hukumnya mubah karena hadits yang ada tidak bisa diterapkan terhadap perbuatan tersebut.
Yang kedua: Bahwa jawaban ini membahas tentang hukum syara’ atas gambar datar dua dimensi yang tidak memiliki bayangan. Adapun membuat karya yang memiliki bayangan, atau patung, maka dia haram dalam segenap kondisinya karena adanya dalil-dalil syara’ mengenai hal tersebut, dengan pengecualian mainan anak-anak karena adanya dalil yang membolehkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan pada akhir jawaban.
Terkait dengan dua pertanyaan:
* Memodivikasi gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
* Menggambar lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
Sesungguhnya dua pertanyaan ini berkaitan dengan menggambar sesuatu yang memiliki nyawa (ruh), atau melakukan editing terhadap gambar makhluq bernyawa dengan menggunakan tangan seperti menghilangkan keriput atau beberapa ciri di wajah. Dengan demikian, pengharaman yang terdapat dalam dalil-dalil syara’ dapat diterapkan dalam kasus ini, sama saja apakah hal tersebut dilakukan dengan pena, dengan mouse di computer, selama pekerjaan menggambar itu dilakukan oleh tangan manusia terhadap makhluq yang bernyawa, maka keharaman yang ada pada dalil berlaku atas aktivitas tersebut. Al Bukhori mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas –Allah meridhoi keduanya- yang berkata: “Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “barang siapa melukis suatu gambar maka Allah akan mengadzabnya sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya”. Al Bukhori juga mengeluarkan hadits dari jalan Ibnu Umar –semoga Allah meridhoi keduanya- bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksak pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka “coba hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!”.
Mengenai dua pertanyaan:
* Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi
* Menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis sendiri
Dengan kata lain, penanya mengambilnya dari orang lain, tidak menggambarnya sendiri. Dengan demikian, di sini berlaku hukum menggunakan gambar. Dalam hal ini terdapat tiga macam hukum:
Pertama: Apabila anda mengambil gambar itu untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah, seperti tempat sujud untuk sholat, atau tirai masjid, iklan (di’aayah) atau pengumuman (i’laan) masjid dan semacamnya, maka itu haram, tidak dibolehkan.
Dalilnya adalah:
Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau memasukki Ka’bah sehingga gambar-bambar di dalamnya dihapus. Penolakkan Rasul shollalaahu ‘alaihi wa sallam untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan tegas untuk meletakkan gambar di tempat-tempat ibadah, maka itu menjadi dalil atas haramnya menaruh gambar di dalam masjid. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu : Bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam rumah –yaitu Ka’bah- , dan memerintahkan agar ia dihapus”.
Kedua: Adapun jika penanya mengambil gambar yang tidak dia gambar sendiri untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu selain tempat ibadah, maka dalil-dalil syara’ menjelaskan bahwa itu dibolehkan –dengan disertai kemakruhan (dibenci oleh syara’ –pent) jika gambar itu diambil dan diletakkan di tempat-tempat yang mengandung penghormatan atau pemuliaan, seperti di rumah-rumah, media-media informasi lembaga-lembaga kebudayaan, di kaos atau pakaian, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, dan di tempat-tempat terbuka lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas ibadah, atau digantung di dalam kamar atau dikenakan dalam rangka mempermanis penampilan, maka semua itu hukumnya dibenci (makruuh).
Yang mubah adalah jika gambar diletakkan bukan di tempat ibadah dan bukan tempat yang “terhormat”, seperti karpet yang digelar di bawah, di atas kasur dimana orang tidur di atasnya, atau di bantal yang digunakan untuk bersandar, atau gambar yang ada di lantai yang diinjak-injak dan yang semisalnya, maka semua tu hukumnya mubah. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Hadits dari Abu Tholhah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafadz : aku mendengar Raulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “”Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”; Dalam sebuah riwayat dari sebuah jalan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda “kecuali gambar yang ada di pakaian” Ini menunjukkan adanya pengecualian terhadap gambar yang ada di pakaian, atau gambar yang dilukis.
Ini menunjukkan bahwa gambar dua dimensi seperti gambar yang dilukis di pakaian hukumnya boleh, Sebab malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar dua dimensi. Akan tetapi ada pula hadits-hadits lain yang menjelaskan jenis kemubahan ini:
Hadits dari Aisyah Radiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al Bukhori, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menuju saya sementara di dalam rumah terdapat tirai tipis bergambar, maka warna wajah beliau berubah, kemudian mengambil tirai itu dan merobeknya”
Qirom (kain tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai penutup pintu di dalam rumah, hal itu membuat rona wajah Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam berubah (marah) kemudian melepas tirai tersebut. Ini menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai sebagai penutup pintu apabila ia bergambar. Apabila hadits ini dikaitkan dengan kebolehan malaikat untuk memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar yang terlukis di pakaian, maka hal tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau sekedar dibenci (makruuh), dan juga karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedang pintu adalah tempat yang terhormat, dengan demikian, memasang gambar di tempat yang terhormat adalah makruh.
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari perkataan Jibril ‘alaihis salaam kepada Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam : “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak,”. Dengan demikian, Jibril ‘alaihis salam telah memerintahkan kepada rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan turai bergambar dari tempat yang terhormat, dan agar ia dijadikan sebagai dua bantal yang diinjak. Ini berarti, menggunakan gambar yang digambar oleh orang lain di tempat-tempat yang tidak dihormati adalah boleh.
Terkait dengan dua pertanyaan:
* Menggambar simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”)
* Menggambar bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
Jawaban untuk dua pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
Apabila tanda yang dilukis menggambarkan makhluq bernyawa maka dia haram, sebab hadits-hadits mengharamkan gambar yang menunjukkan adanya sifat memiliki ruh (nyawa). Sifat ini dapat diterapkan kepada setiap gambar makhluq secara utuh maupun, separuh saja, gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain seperti kedua tangan dan semisalnya.
Adapun apabila tanda (rambu)nya tidak menunjukkan adanya nyawa, seperti tangan saja, atau gambar jari yang menunjuk kepada sesuatu atau dua tangan yang saling bersalaman atau yang semisalnya, maka keharaman tidak bisa diterapkan terhadapnya.
Adapun gambar kepala yang tidak digabung dengan angggota badang yang lain, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang paling kuat adalah bahwa kepadala saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain adalah tidak haram. Itu karena ada hadits yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga tersesa seperti pohon, seperti halnya hadits Abu Hurairah ra. Yang di dalamnya terdapat perkataan Jibril alaihis salam kepada Rasulullah shollalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa patung itu tidak lagi haram ketika kepalanya dipotong. ..”.. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon ..” dikeluarkan oleh Ahmad. Hadits ini berarti bahwa sisa patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram. Dan ini tidak berarti bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang kepalanya sudah terpotong, sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tidak demikian karena perintah Jibril kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala patung menunjukkan bahwa pemotongan itu hukumnya boleh. Dengan demikian, segala hal yang menjadi konsekuensinya/ikutannya adalah boleh.
Dan harap diketahui, bahwa Hanabilah (hambaliyah) dan Malikiyah membolehkan kepala saja, sedangkan Syafi’iyyah mengalami perbedaan pendapat. Sebagian besar ahli fiqh syafiiyyah menyatakan bahwa gambar kepala saja adalah haram, sementara yang lain membolehkannya.
Adapun terkait dengan dua soal yang terakhir:
* Menggambar lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
* Menggambar tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Jawabnya adalah bahwa sesungguhnya selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa) meskipun tidak ada persamaannya di dalam kenyataan, itu tetap haram. Sebab, nash-nash syara’ dapat diterapkan terhadap kasus tersebut. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang memiliki sayap.
Iamam Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yg memiliki sayap. Maka beliau memerintahkan aku utk mencabut tabir tersebut maka akupun melepasnya” sementara durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.
Kemudian, saya hendak mengulang kembali apa yang telah saya ungkapkan di awal, bahwa gambar yang diharamkan adalah gambar yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Adapun jika diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk permainan atau hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka. Semua itu hukumnya boleh karena adanya dalil yang menyebutkan hal tersebut:
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pulang dari perang tabuk atau perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai, lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah banyak mainan boneka wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”, ia menjawab: “Anak-anak perempuanku”.
Hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Al Bukhori, dia berkata, “aku bermain dengan anak-anak perembuanku (boneka) di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.. “ yaitu bermain dengan boneka berbentuk anak-anak perempuan.
Demikian juga dengan hadits Ar Robii’ binti Ma’awwid Al Anshoriyyah rodhiyallaahu ‘anhaa yang dikeluarkan oleh Al Bukhori dia berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka”. Maksudnya, menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba waktu berbuka.
Semua hadits itu membolehkan mainan anak-anak bahkan seandainya mainan itu berbentuk patung makhluk yang memiliki nyawa. Atas dasar itu, merupakan hal yang lebih utama jika gambar datar dua dimensi adalah boleh, bagaimana pun bentuknya.
12 Syawal 1431 H
Bertepatan dengan 21 September 2010
Diterjemahkan dari : http://hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3249
http://adivictoria1924.wordpress.com/2010/11/17/penjelasan-amir-hizb-seputar-hukum-lukisan/